Makalah Kesesuaian Lahan dan Pola Pemukiman Kota Banjarmasin

BAB 1
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Lahan sendiri merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Sedangkan penggunaan lahan merupakan setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spritual.

Pembangunan di Indonesia yang gencar dilakukan seiring perkembangan jaman dan pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin besar. Kebutuhan lahan yang semakin besar ini memicu alih fungsi lahan yang sudah sering terlihat saat ini. Selama ini kebutuhan akan lahan diidentikan dengan kebutuhan lahan untuk pertanian karena memang saat ini pertanian merupakan sumber utama pangan manusia. Peralihan fungsi lahan perlu mendapat perhatian lebih karena penggunaan lahan sedikit banyak pasti berpengaruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri.


Pengetahuan akan kondisi lahan dan kemampuan lahan sangat penting karena banyak masyarakat kurang mengetahui sehingga mereka menggunakan lahan secara sembarangan yang akhirnya merusak lahan itu sendiri. Setelah lahan menjadi rusak, maka pemulihan kembali sangatlah sulit dan masyarakat sendiri yang akan dirugikan.

Kota mempunyai peranan sebagai titik pusat pertumbuhan ekonomi serta menjadi pusat aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Pada umumnya, penduduk yang pindah ke kota bertujuan untuk memperoleh kesempatan kerja. Hubungan tersebut mempengaruhui jumlah penduduk di wilayah perkotaan. Seiring bertambahnya jumlah penduduk akibat proses urbanisasi, bertambah pula jumlah permintaan terhadap kebutuhan lahan yang digunakan untuk kebutuhan sosial dan ekonomi terutama permukiman dalam suatu perkotaan. Menjamurnya pembangunan permukiman yang ada di pinggiran kota secara tidak teratur mengakibatkan perkembangan kota disebut sebagai urban sprawl (Troy, 1996). Urban sprawl atau perluasan fisik kota memiliki dampak negatif yang salah satunya tidak efektifnya pembangunan fasilitas pelayan kota dan ketidaksesuaian lahan sebagaimana mestinya.

Dalam merumuskan tata ruang kota dimasa yang akan datang, Yunus (2005) berpendapat bahwa pemahaman karakteristik fisik kota diperlukan guna menghindari dampak negatif dari perkembangan kota. Pemanfaatan lahan untuk permukiman harus diatur dengan baik sehingga sesuai dengan rencana tata ruang kota, dengan mempertimbangkan keseimbangan aspek ekologis sehingga tidak sampai terjadi penurunan kualitas lahan. 

Pemantauan perkembangan lahan permukiman dengan cara manual akan memakan banyak waktu, tenaga dan biaya sehingga pemanfaatan data variabel dan pemetaan yang lebih mudah akan digunakan dalam analisis kali ini. Penerapan SIG (sistem Informasi Geografis) dalam evaluasi kesesuaian lahan permukiman akan mempermudah dan mempercepat proses analisis data. SIG memiliki kemampuan dalam input, editing dan analisis data baik data grafis maupun data atribut (tabuer) secara tepat dan akurat. Selain itu, pemanfaatan SIG sangat penting terutama dalam hal efisiensi tenaga dan waktu.

Kota Banjarmasin terletak pada 3°,15 sampai 3°,22 Lintang Selatan dan 114°,32 Bujur Timur, ketinggian tanah berada pada 0,16 m di bawah permukaan laut dan hampir seluruh wilayah digenangi air pada saat pasang. Kota Banjarmasin berlokasi di sisi timur sungai Barito. Letak Kota Banjarmasin nyaris di tengah-tengah Indonesia.

Kota Banjarmasin dibelah oleh sungai Martapura dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut Jawa, sehingga berpengaruh kepada drainase kota dan memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakat, terutama pemanfaatan sungai sebagai salah satu prasarana transportasi air, pariwisata, perikanan dan perdagangan.


Menurut data statistik 2011 dari seluruh luas wilayah Kota Banjarmasin yang kurang lebih 98 Km² ini dapat dipersentasikan bahwa peruntukan tanah saat sekarang adalah lahan tanah pertanian atau 3.111,9 ha, perindustrian 278,6 ha, jasa 443,4 ha dan pemukiman adalah 3.029,3 ha, dan lahan perusahaan seluas 336,8 ha. Perubahan dan perkembangan wilayah terus terjadi seiring dengan pertambahan kepadatan penduduk dan kemajuan tingkat pendidikan serta penguasaan ilmu pengetahuan teknologi.

Tanah aluvial yang didominasi struktur lempung adalah merupakan jenis tanah yang mendominasi wilayah Kota Banjarmasin. Sedangkan batuan dasar yang terbentuk pada cekungan wilayah berasal dari batuan metaforf yang bagian permukaan ditutupi oleh kerakal, kerikil, pasir dan lempung yang mengendap pada lingkungan sungai dan rawa.

Penggunaan tanah di Kota Banjarmasin Tahun 2003 untuk lahan pertanian seluas 2.962,6 Ha, Industri 278,6 Ha, Perusahaan 337,3 Ha, Jasa 486,4 Ha dan Tanah Perumahan 3.135,1 Ha. Dibandingkan dengan data tahun-tahun sebelumnya lahan pertanian cenderung menurun, sementara untuk lahan perumahan mengalami perluasan sejalan dengan peningkatan kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Luas optimal Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebuah kota adalah 30% dari luas kota. Banjarmasin hanya memiliki 10 sampai 12 % RTH saja.

B.     Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah perkembangan penggunaan lahan yang  sesuai dengan peruntukannya.

C.    Tujuan Penulis
Tujuan disusunnya makalah ini adalah bertujuan :
·         Agar Mahasiswa dapat mengetahui definisi kesesuaian lahan, Manfaat dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
·         Mengetahui  dan mendeskripsikan kesesuaian lahan untuk wilayah pemukiman

D.    Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini adalah dengan mengumpulkan data-data yang di dapat dari berbagai sumber media seperti Internet dan berbagai literatur buku-buku yang menunjang untuk tersusunnya makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual merupakan kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan penggunaan sebuah lahan tersebut, misalkan untuk permukiman maka karakteristik tanah seperti apa yang cocok untuk membangun sebuah permukiman. Sedangkan kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang sesuai.

B.     Klasifikasi Kesesuaian Lahan

·         Struktur Klasifikasi Keseuaian Lahan:

               
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka kerja FAO 1976 dalam Rayes (2007) adalah terdiri dari 4 kategori sebagai berikut:

(1) Ordo (Order): menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum.
(2) Klas (Class) : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
(3) Sub-Klas : menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan pada jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas.
(4) Satuan (Unit): menunjukkan tingkatan dalam sub-kelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya.

Klasifikasi kesesuaian lahan merupakan perbandingan (matching) antara kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan. Kesesuaian lahan ini dapat dipakai untuk klasifikasi kesesuaian lahan secara kuantitatif maupun kualitatif tergantung pada data yang tersedia. Dalam hal kesesuaian lahan untuk permukiman ini yang dipakai adalah klasifikasi kesesuaian lahan secara kualitatif karena penilaian kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kualitatif (tidak dengan angka-angka) (Hardjowigeno, 2003). Kesesuaian lahan diklasifikasikan menjadi beberapa macam. Menurut FAO (1976) struktur klasifikasi kesesuaian lahan dapat dibedakan menurut tingkatannya , yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas, dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global, dimana ia menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat Ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S= Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N= Not Suitable).

Lahan yang termasuk pada golongan S atau sesuai merupakan lahan yang bisa digunakan dalam jangka waktu lama dan tidak terbatas pada penggunaan tertentu yang telah dipertmbangkan sebelumnya. Lahan yang masuk dalam ordo ini tidak akan memiliki kerusakan yang berarti saat digunakan. Sedangkan lahan yang masuk pada ordo N atau tidak sesuai merupakan lahan yang memiliki kesulitan-kesulitan yang sedemikian rupa sehingga menghambat penggunaan atau bahkan mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan.
Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo yang menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) dibedakan ke dalam dua kelas yaitu N1 (tidak sesuai pada saat ini) dan N2 (tidak sesuai untuk selamanya). (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).

Kelas S1 (sangat sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.

Kelas S2 (cukup sesuai): Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas ini biasanya masih dapat diatasi dengan cukup mudah.

Kelas S3 (sesuai mariginal): Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta.

Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini): Lahan memiliki faktor pembatas yang sangat besar namun masih dapat digunakan setelah mengalami pengolahan dengan modal yang juga tidak sedikit.

Kelas N2 (tidak sesuai untuk selamanya): Lahan memiliki faktor pembatas yang permanen sehingga tidak memungkinkan digunakan untuk penggunaan lahan yang lestari dalam jangka waktu yang sangat lama.

 Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat. Sedangkan subkelas merupakan pembagian tingkat lanjut dari subkelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas.

·         4 (Empat) Macam Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) dikenal empat macam klasifikasi kesesuaian lahan, yaitu:
(1)                     Kesesuaian lahan yang bersifat kualitatif.
(2)                     Kesesuaian lahan yang bersifat kuantitatif.
(3)                     Kesesuaian lahan aktual.
(4)                     Kesesuaian lahan potensial.

C.                 Penggunaan Lahan untuk Permukiman
 
Menurut UU RI No. 4 tahun 1992 permukiman adalah suatu kawasan perumahan memiliki luas wilayah dengan jumlah penduduk tertentu yang dilengkapi dengan sistem prasarana dan sarana lingkungan dengan penataan ruang yang terencana dan teratur, tempat kerja terbatas sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Pada penggunaan lahan untuk permukiman sangat penting untuk dikaji kesesuaian lahannya apakah dengan dibangunnya permukiman di atas sebuah lahan akan berpengaruh terhadap daya dukung lahan tersebut. Terdapat sepuluh parameter penentu kelas kesesuaian lahan untuk permukiman yaitu:
1.         lereng,
2.         posisi jalur patahan (tidak ada, ada pengaruh, dan tepat pada jalur),
3.         kekuatan batuan,
4.         kembang kerut tanah,
5.         sistem drainase,
6.         daya dukung tanah,
7.         kedalaman air tanah,
8.         bahaya erosi,
9.         bahaya  longsor, dan
10.       bahaya banjir.
Faktor dominan yang menjadi penghambat utama dalam penentuan kawasan permukiman adalah, lereng, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, bahaya longsor, bahaya erosi, dan jalur patahan.

D.   Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut

    Membahas lahan di kota Banjarmasin tidak akan lepas dari Lahan Rawa Pasang Surut.Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua, Bogor istilah lahan rawa dibedakan menjadi dua, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak atau rawa pedalaman (nontidal swamps). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 64/PRT/1993 menyatakan rawa dibagi dalam tiga kategori, yaitu (10 rawa pasang surut, (2) rawa pantai, dan (3) rawa pedalaman atau rawa lebak. Lahan rawa pasang surut umumnya mempunyai topografi datar dan pengaruh luapan pasang surut air laut yang lebih atau sama kuat dengan luapan air sungai, yang bersifat tetap menurut peredaran bulan (Noor, 2007). Genangan di lahan rawa pasang surut hanya 1-2 meter dan berlangsung 3-4 jam, yaitu saat terjadi pasang besar (pasang purnama), kecuali daerah pinggir sungai (radius 60-100 km dari pinggir sungai). Pada kawasan rawa  pasang surut, luapan pasang terjadi secara berkala akibat pengaruh daya tarik antara benda-benda langit; bulan, matahari dan bumi. Dengan demikian, turun naiknya muka air/air tanah pada rawa pasang surut sudah tentu dengan siklus yang tetap. Berdasarkan historisnya, pengaruh pasang surut diperluas sampai ke pedalaman dengan cara menggali saluran-saluran, dengan harapan air sungai bisa keluar masuk rawa melalui saluran tersebut. Keberadaan saluran-saluran ini, selain menambah subur daerah pedalaman, juga menambah area resapan air akibat pasang naik. Manajemen air merupakan faktor penting dalam pembangunan di daerah rawa (Chandrawidjaja, 2003). Dikenal dua tingkatan manajemen air, yaitu :
1. Manajemen air makro, berfungsi menghubungkan tata air didalam kawasan dengan tata air disekitarnya
2. Manajemen air mikro, berfungsi menghubungkan tata air di lahan perumahan dengan system jaringan salurannya.

Berdasarkan manajemen air ini , maka dapat disimpulkan bahwa untuk daerah rawa pasang surut pengaliran air yang paling penting.

E.     Pola dan tapak permukiman di daerah Banjarmasin

Pola permukiman merupakan lingkup penyebaran daerah tempat tinggal penduduk menurut keadaan geografi (fisik) tertentu. Untuk pertumbuhan kota Banjarmasin, permukiman penduduk pada awalnya terkonsentrasi pada tepian sungai, terutama daerah aliran sungai Barito dan anak sungainya. Di wilayah tersebut banyak terdapat kantong permukiman sampai berdirinya pusat kerajaan (Saleh, 1981; Atmojo, 2002). Permukiman penduduk memanjang di tepian sungai membentuk pola linier dengan aliran sungai sebagai poros. Rumah-rumah dibangun menghadap sungai, dan di depan rumah biasanya terdapat dermaga yang dipakai untuk tempat menyandarkan atau mengikat alat transportasi berupa perahu (Daud, 1997). Pola permukiman seperti ini sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem, karena masih mempertimbangkan sungai sebagai potensi alam. Tetapi pada perkembangan permukiman berikutnya, banyak rumah tumbuh di bantaran sungai dengan orientasi ke jalan dan membelakangi sungai sebagai akibat dari semakin berkembangnya jalan raya sebagai transportasi darat. Arsitektur rumah tradisional yang berlokasi di tepian sungai menggunakan konstruksi rumah panggung dari bahan kayu ulin dan pancangan kayu galam (Huzairin, 2004). Tradisi ini berlanjut sampai ke daerah daratan yang berair dan berawa menyesuaikan dengan kondisi geomorfologis kota Banjarmasin. Sehingga di bagian bawah bangunan masih terdapat ruang-ruang untuk area resapan dan penampungan air. Pondasi pada rumah tradisional merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan lahan (rawa) yang menyesuaikan dengan tapak permukimannya. Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi permasalahan setempat (Muhammad, 2007). Pada permukiman modern, praktek pembangunan dengan mengurug rawa merupakan trend. Akibat dari perilaku membangun ini, maka rawa yang berfungsi sebagai area resapan dan penampungan air semakin menyempit. Resiko banjir pada permukiman modern lebih besar dibandingkan dengan permukiman tradisional (Tharziansyah, 2002).


·                     Perkembangan Tapak Permukiman

Lahan rawa di Banjarmasin termasuk rawa pasang surut. Sungai menjadi wadah aliran air agar pada saat pasang naik, air tidak masuk ke daratan. Kanal-kanal (sungai buatan) yang menghubungkan dua buah sungai utama dibuat untuk mempermudah dan mempersingkat transportasi air pada waktu dulu juga digunakan untuk mengairi area pertanian. Sehingga di Banjarmasin banyak terdapat sungai untuk antisipasi banjir pada saat pasang tinggi dan saat hujan lebat. Berdasarkan historis, permukiman banyak tumbuh di tepi sungai karena kemudahan akses transportasi air. Pada perkembangan selanjutnya, permukiman lebih mengarah ke daratan karena dibentuknya jalan-jalan darat. Transportasi air mulai ditinggalkan,sedangkan transportasi darat semakin berkembang. Kondisi tapak juga mengalami perubahan. Pada mulanya banyak lahan rawa yang berhubungan dengan saluran air, tetapi sekarang ini lahan rawa mulai berkurang karena bertambah luasnya area permukiman. Hal ini dapat mengurangi area resapan air dan air tidak dapat mengalir dengan leluasa. Untuk perkembangan selanjutnya, permukiman tumbuh di sepanjang jalur darat ini baik formal maupun informal. Permukiman informal biasanya tumbuh di sepanjang sungai, sedangkan permukiman formal tumbuh di area pedalaman (lebih jauh dari sungai). Untuk permukiman yang posisinya dekat dengan sungai, pada saat pasang naik mudah digenangi air tetapi cepat juga surutnya karena air cepat mengalir. Berbeda dengan permukiman yang jauh dari sungai, pada saat pasang naik air menggenangi daratan lebih lama karena air sulit untuk keluar karena tidak ada area pengaliran. Perkembangan tapak permukiman dibedakan menjadi dua kawasan, yaitu (a) tapak permukiman yang berada di tepian (dekat) sungai dan (b) tapak permukiman pedalaman (jauh dari sungai).

a .Tapak Permukiman Tepian Sungai

Perkembangan tapak permukiman tepian sungai terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Berdasarkan historis, permukiman tumbuh di sepanjang tepian sungai dengan orientasi ke sungai. Setiap rumah memiliki dermaga sebagai tempat menambatkan perahu, sebagai wadah “batang” untuk kegiatan sehari-hari seperti mandi, cuci dan mengambil air untuk keperluan di rumah. Jarak antara rumah dengan sungai + 30 meter, terdapat titian dari kayu ulin dengan struktur panggung sebagai penghubung rumah dengan dermaga. Antara dermaga dan titian terdapat urugan tanah yang dijadikan sebagai tanggul (kemudian berkembang fungsinya menjadi jalan darat). Tanggul ini biasanya diurug dengan cara mengeruk sungai saat musim kemarau (sungai kering) sehingga mengurangi endapan lumpur yang dapat membuat sungai dangkal. Rumah menggunakan struktur panggung dengan tiang ulin dan pondasi kacapuri atau pancangan kayu galam. Jarak antar rumah lebih dari 20 meter. Pada tahap ini, kondisi tapak permukiman masih terdapat ruang-ruang untuk area resapan dan aliran air.

2. Mulai tumbuh rumah-rumah di bagian belakang dan samping rumah utama (lapis pertama) Hal ini disebabkan karena sistem kekerabatan yang sangat erat, dan ada kecenderungan orang tua sulit berpisah dengan anaknya walaupun anak sudah menikah dan mempunyai keluarga, maka dibuatlah rumah di bagian samping atau di bagian belakang rumah utama untuk anak-anak dan keluarganya. Selain itu tumbuh pula rumah di bantaran sungai. Akses menuju rumah-rumah yang baru menggunakan titian. Sedangkan titian yang menghubungkan rumah utama dengan dermaga berubah menjadi halaman yang berasal dari tanah yang dikeruk dari sungai dan dari bawah rumah. Pada tahap ini, kearifan lokal lahan rawa masih diperhatikan, yakni menggunakan rumah struktur panggung, akses titian dan sistem urug dan keruk untuk halaman dengan tanah urugan dari area tersebut juga.

3. Pada tahap berikutnya, titian menuju rumah-rumah disekitar rumah lapis pertama mulai hilang diganti dengan urugan tanah dan perkerasan paving stone. Rumah di bantaran sungai bertambah banyak menjorok ke sungai, sungai semakin sempit. Titian di bantaran sungai juga sudah diurug menjadi halaman rumah. Transportasi darat semakin berkembang, sehingga fungsi

dermaga dan sungai sebagai media transportasi mulai berkurang. Urugan tanah (reklamasi rawa) semakin luas, lahan rawa semakin berkurang. Sebenarnya pengurugan lahan ini (reklamasi rawa) bisa saja dilakukan, tetapi harus tetap memperhatikan kearifan lokal agar tidak merusak alam demi terwujudnya permukiman yang berkelanjutan.




  

b. Tapak Permukiman Pedalaman (jauh dari sungai)
Perkembangan permukiman di kota Banjarmasin tidak hanya ditepian sungai, tapi berkembang ke area pedalaman yang jauh dari sungai. Permukiman di area pedalaman ini lebih didominasi oleh perumahan formal yang dibangun oleh developer.`Pola permukimannya dapat dilihat pada gambar  berikut :




Pada gambar diatas terlihat bahwa seluruh halaman diurug. Saluran yang mengalirkan air berupa gorong-gorong atau saluran terbuka dari area panggung rumah menuju keluar tidak ada, sehingga air terkungkung di bawah lantai rumah. Apabila terjadi pasang tinggi, maka biasanya lantai bangunan yang berada paling bawah (area dapur/service) akan tergenang air. Pada saat pembangunan rumah tidak ada lagi system urug dan keruk, sehingga tidak ada area resapan air. Pada salah satu sisi atau kedua sisi jalan juga tidak terdapat saluran air, kalaupun ada biasanya dengan lebar minimal (l = 20 cm, t = 30 cm), akibatnya permukiman akan banjir saat pasang tinggi dan perlu waktu yang lama untuk surut kembali. Kondisi ini menunjukkan pengolahan tapak permukiman yang tidak memperhatikan kondisi lahan rawa.

Rumah modern yang dibangun sekarang ini juga tidak memperhatikan kondisi tapak lahan rawa. Pada bagian bawah bangunan (masih menggunakan struktur panggung) seluruhnya ditutup dengan kayu ulin agar nanti pada saat mengurug halaman, tanah urug tidak masuk ke bagian bawah bangunan.

Hal ini menghambat pengaliran air saat pasang dan surut. Bahkan ada beberapa lahan yang di urug seluruhnya sebelum dilakukan pembangunan untuk mempermudah pekerjaan konstruksi. Berbeda dengan rumah tradisional yang menggunakan struktur panggung, tapi masih memberikan keleluasaan air untuk mengalir di bagian bawah bangunannya. Untuk permukiman yang posisinya dekat dengan sungai, pada saat pasang naik mudah digenangi air tetapi cepat juga surutnya karena air cepat mengalir. Berbeda dengan permukiman yang jauh dari sungai, pada saat pasang naik air menggenangi daratan lebih lama karena air sulit untuk keluar karena tidak ada area pengaliran. Konsep Pengolahan Tapak Permukiman Manajemen air merupakan hal yang paling utama dalam pengolahan tapak permukiman di lahan rawa pasang surut. Berdasarkan historis dan kondisi morfologinya, kota Banjarmasin banyak memiliki sungai-sungai alami maupun buatan untuk mengantisipasi pasang surut dan infiltrasi air laut ke daratan. Hal ini dapat dijadikan dasar utama dalam pengolahan tapak di lahan rawa pasang surut yaitu memudahkan dan memberikan ruang untuk aliran air. Ada tiga hal yang dapat dilakukan sebagai konsep pengolahan tapak permukiman, yaitu :

1. Konstruksi bangunan panggung

Pondasi pada rumah tradisional merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan lahan (rawa). Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi permasalahan setempat. Untuk menahan beratnya beban bangunan dan menyalurkan gaya berat ke bumi, digunakan system pondasi batang (log). Sistem pondasi ini menggunakan batang kayu Kapur Naga yang diletakkan sebagai bantalan. Sifat balok kayu yang mampu “mengapungkan” bangunan menjadikannya sangat fungsional. Sedangkan kekuatan dan keawetan kayu secara alamiah terbentuk dari proses alami pengawetan dengan membenamkan kayu ke lumpur/rawa. Untuk struktur yang lebih ringan, menggunakan konstruksi kacapuri, yakni dengan kayu galam yang disusun melintang disepanjang bentang bangunan. Prinsipnya sama dengan system pondasi batang kayu kapur naga. Karena perkembangan teknologi struktur sekarang ini dan sulitnya untuk mendapatkan batang (log) serta kayu galam yang berdiameter lebih dari 15 cm, maka struktur panggung menggunakan pancangan kayu galam.

2. Terdapat area resapan air dan aliran air yang menerus

Berdasarkan historisnya, aliran air berupa sungai-sungai ataupun kanal-kanal kecil masuk sampai ke pedalaman untuk mengantisipasi pasang surut dan memberi pengairan area pertanian. Seharusnya sebuah kawasan permukiman harus memiliki saluran-saluran air (berupa sungai buatan) yang saling berhubungan menuju sungai utama, sehingga air mempunyai wadah untuk mengalir pada saat pasang tinggi. Banyaknya sungai-sungai dan adanya kesinambungan antara sungai yang satu dengan sungai yang lainnya dapat menjaga kota Banjarmasin yang berada 16 cm di bawah permukaan air laut dari bahaya banjir.

Adanya resapan air dan aliran air yang menerus merupakan hal yang penting pada lahan rawa pasang surut. Untuk tapak permukiman dapat dilakukan pada komplek perumahan dan pada satu kapling rumah tinggal. Pada komplek perumahan, saluran air (kanal) primer dengan lebar minimal 4-6 meter dapat dibuat di bagian depan dan belakang tapak permukiman yang berhungan langsung dengan sungai atau kanal utama yang ada di kawasan tersebut. Jadi yang terpenting disini sebenarnya adalah dilakukannya normalisasi seluruh sungai yang ada di kota Banjarmasin, sehingga air akan mengalir tanpa hambatan. Saluran sekunder dibuat di dalam komplek perumahan dengan lebar 2-3 meter yang berhubungan langsung dengan saluran primer dan tertier. Saluran tertier dibuat di sekeliling kelompok kavlingan rumah dan terdapat gorong-gorong yang lebar untuk menghubungkan antar saluran yang berada di bawah jalan.


Untuk konsep aliran air yang menerus pada satu kaplingan lahan rumah tinggal adalah dengan menggunakan konstruksi bangunan panggung dan lahan tidak di urug .Seandainya ada bagian yang diurug untuk halaman dan taman, maka menggunakan sistem urug dan keruk, sehingga masih ada lahan sebagai area resapan air dan tetap ada aliran air yang menerus ke saluran tertier yang berada di bagian depan tapak.

3. Sistem urug dan keruk

Berdasarkan historisnya, pada saat membangun rumah orang dulu mengeruk tanah seluas rumah yang akan dibangun sebelum memasang pondasi. Kerukan ini berfungsi untuk mengurangi tanah berlumpur dan memudahkan pancangan galam mengenai tanah keras pada saat dipancangkan. Hasil kerukan ditimbun ke depan rumah sebagai halaman. Sistem urug dan keruk merupakan manajemen air yang sudah dilakukan sejak dulu. Sebagian lahan di keruk untuk mengurug bagian lahan yang lain. Hasil kerukan biasanya berfungsi sebagai kanal atau kolam, sedangkan hasil urugan berfungsi sebagai jalan maupun halaman.



BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan tinjauan historis dan kondisi eksisting, maka konsep pengolahan tapak permukiman di Banjarmasin adalah dengan memperhatikan manajemen air pada rawa pasang surut. Air harus secepatnya mengalir agar tidak tergenang. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi infiltrasi air laut ke daratan saat pasang tinggi dan banjir pada saat hujan lebat. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah:
1. Konstruksi bangunan panggung
2. Adanya aliran air yang menerus (lancar) dan area resapan air
3. Mengurug satu bagian lahan dengan cara mengeruk bagian lahan yang lain dalam satu kapling lahan atau kawasan, sehingga wadah air (resapan air) pada saat air pasang masih tersedia
4. Memperhatikan keberadaan sungai-sungai (kanal) yang berada di sekitar permukiman untuk mempermudah aliran air.
5. Mengurangi urugan tanah dari tempat lain






















DAFTAR PUSTAKA


LANTING Journal of Architecture, Volume 1, Nomer 2, Agustus 2012, Halaman 96 -105


Komentar